Tuesday, May 31, 2011

Hiren’s BootCD 14.0


Hiren’s Boot CD is a boot CD containing various diagnostic programs such as partitioning agents, system performance benchmarks, disk cloning and imaging tools, data recovery tools, MBR tools, BIOS tools, and many others for fixing various computer problems. It is a Bootable CD; thus, it can be useful even if the primary operating system cannot be booted. Hiren’s Boot CD has an extensive list of software. Utilities with similar functionality on the CD are grouped together and seem redundant; however, they present choices through UI differences. Hiren’s BootCD – All in one Dos Bootable CD which has all these utilities.
Hiren’s BootCD 14.0 Updated on 24-05-2011

Changes

+ HBCD Folders restructured
+ Dialupass 3.16
+ Image For Windows 2.62a
+ Parted Magic 6.1 (replaced RIPLinux)
+ WebBrowserPassView 1.11 (replaced foxpass/iepass)
- WinKeyfinder
* Autologon 3.01
* Autoruns 10.07
* Avira AntiVir Personal (24-05-2011)
* Calcute 11.5.15
* ComboFix (24-05-2011)
* Don’t Sleep 2.31
* Dos – Minor bugs fixed
* Dr.Web CureIt! Antivirus (24-05-2011)
* GRUB4DOS 2011-04-23
* isolinux/memdisk 4.04
* Malwarebytes Anti-Malware 1.50.1 (24-05-2011)
* MiniXp – Added/updated LAN/WLAN/Storage drivers, msi installer support and other minor improvements
* Offline NT Password 2011-05-11
* PhotoRec 6.12
* Process Explorer 14.12
* Process Monitor 2.95
* RKill (24-05-2011)
* Spybot – Search & Destroy 1.6.2 (24-05-2011)
* SpywareBlaster 4.4 (24-05-2011)
* SumatraPDF 1.1
* SuperAntispyware 4.53.1000 (24-05-2011)
* System Explorer 2.8.1
* TCPView 3.04
* TestDisk 6.12

Download : HIREN'S BOOTCD 14.0

Sungguh Allah Ta'ala Maha Pemurah

Sungguh Allah Ta'ala Maha Pemurah
NASKAH HADITS

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – عَن النَّبِيِّ فِيْمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، قَالَ : قَالَ : إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئاَتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً . متفق عليه.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallaahu 'anhuma dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam tentang apa yang diriwayatkan dari Rabb-nya ‘Azza Wa Jalla, Dia berfirman: Beliau bersabda: “sesungguhnya Allah mencatatkan seluruh kebaikan dan keburukan, kemudian (Dia Ta’ala) menjelaskan hal itu; barangsiapa yang berkeinginan untuk melakukan suatu kebaikan namun dia belum melakukannya (tidak jadi), maka Allah telah mencatat baginya satu kebaikan secara sempurna; jika dia berkeinginan untuk melakukannya, lantas dia (jadi) melakukannya, maka Allah telah mencatatkan baginya disisiNya sebanyak sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat, hingga berlipat-lipat; dan barangsiapa yang berkeinginan untuk melakukan suatu keburukan namun dia belum melakukannya (tidak jadi), maka Allah telah mencatatkan baginya disisiNya satu kebaikan secara sempurna; jika dia berkeinginan untuk melakukannya lantas dia (jadi) melakukannya maka Allah telah mencatatkan baginya satu keburukan”. (H.R.Muttafaqun ‘alaih)

PENJELASAN KEBAHASAAN

  • Ungkapan: “Fî mâ yarwî ‘an Rabbihi ‘Azza Wa Jalla” (tentang apa yang diriwayatkan dari Rabb-nya ‘Azza Wa Jalla) : ini merupakan salah satu lafazh periwayatan Hadîts Qudsiy, yaitu hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan beliau kemudian menyandarkannya kepada Rabb-nya ‘Azza Wa Jalla.
  • Ungkapan: “Innallâha kataba al-Hasanâti wa as-Sayyi-âti” (sesungguhnya Allah mencatatkan seluruh kebaikan dan keburukan) : ungkapan ini bisa jadi adalah firman Allah dan taqdir-nya (perkiraan kata sebelumnya yang semestinya) adalah “Qâlallâhu: Innallâha kataba…” (Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah mencatatkan…dst” ). Bisa jadi juga, ungkapan tersebut berasal dari sabda Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam yang dihikayatkan oleh beliau dari fi’l (perbuatan) Allah Ta’ala.
  • Ungkapan “kataba” (mencatatkan) : maksudnya, Allah Ta’ala memerintahkan para malaikat al-Hafazhah untuk mencatatkan. Ada yang mengatakan: “Dia Ta’ala menakdirkan hal itu lalu para malaikat pencatat mengetahui takdir tersebut”.
  • Ungkapan “Tsumma bayyana dzâlik” (Kemudian menjelaskan hal itu) : yakni bahwa Allah Ta’ala menjelaskan hal itu, kemudian memerincinya melalui firmanNya (dalam hadits tersebut): “fa man hamma….” (barangsiapa yang berkeinginan…) .
  • Ungkapan “Fa man Hamma” (Maka barangsiapa yang berkeinginan) : kata hamm (ism mashdar/kata benda dari kata kerja hamma) maknanya adalah mempertegas tujuan untuk berbuat. Jadi, maknanya lebih dari sekedar belesitan yang melintas di hati dan bersifat labil. Ada pula yang mengatakan: maknanya adalah “bila hendak” sebagaimana terdapat dalam sebagian riwayat.
  • Ungkapan “fa lam ya’malhâ” (namun dia belum melakukannya [tidak jadi]) : yakni tidak jadi melakukannya dengan anggota badannya ataupun hatinya. Sedangkan ungkapan: “ilâ sab’i mi-ati dla’fin” (hingga tujuh ratus kali lipat) : kata dla’f secara bahasa maknanya: al-Mitsl (misal, lipat).

PELAJARAN-PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL

1.    Hadits diatas berbicara seputar betapa besarnya karunia yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala dan kemurahanNya. Dalam hal ini, Dia Ta’ala memberikan karunia kepada hamba-hambaNya; menetapkan pahala dari kebaikan-kebaikan yang ingin mereka lakukan dengan mencatatkannya beberapa kebaikan disisiNya. Hal tersebut berkenaan dengan sekedar niat dan keinginan; bila sudah beralih kepada amal nyata dan praktik, baik berupa amal hati ataupun amal anggota badan, maka Dia Ta’ala akan melipatgandakan kebaikannya dengan beberapa kali lipat, terhitung dari sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat, hingga berlipat-lipat.
2.    Para Ulama menyebutkan bahwa diantara faktor yang dapat menambah kebaikan tersebut hingga berlipat ganda seperti itu adalah seberapa jauh bertambahnya keikhlasan, kuat dan mantapnya tekad, hidupnya hati, diwariskannya kemanfa’atan yang berlebih seperti sedekah jariah, ilmu yang bermanfa’at, sunnah hasanah, kemuliaan amal, dan sebagainya.
3.    Hadits tersebut juga mengandung pelajaran betapa besarnya karunia dan kemurahan Allah kepada hamba-hambaNya yang beriman. Diantaranya, Dia Ta’ala tidak menjadikan mereka berdosa lantaran belesitan hati mereka untuk melakukan perbuatan maksiat yang belum mantap di hati dan belum menjadi tekad bulat; bila hal tersebut tidak jadi mereka lakukan, maka akan dicatatkan satu kebaikan bagi mereka. Akan tetapi bila mereka jadi melakukannya, maka hanya dicatatkan bagi mereka satu keburukan saja, tidak dilipatgandakan sebagaimana perhitungan terhadap perbuatan baik.
Diantara yang menguatkan statement ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah melampaui (tidak mengganggap sebagai dosa) bagi umatku terhadap apa yang terbersit oleh hati mereka (untuk dilakukan) selama mereka tidak berkata-kata atau (jadi) melakukannya”.
4.    Allah Ta’ala pasti mencatatkan setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba; kecil atau besarnya, sepele atau tidaknya. Dia Ta’ala berfirman: “dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan…”. (QS. 36/Yâsîn:12).
Allah juga berfirman: “Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata:"Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun". (QS. 18/al-Kahf: 49).
Dalam firmanNya yang lain: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.[7]. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.[8]. (Q.S.99/az-Zalzalah: 7,8).
Oleh karena itu, seorang Muslim harus selalu berupaya agar yang dicatatkan untuknya hanyalah yang berupa kebaikan dan bila terbetik dihatinya atau pikirannya atau bahkan sudah beralih kepada melakukan perbuatan maksiat, maka dia harus sesegera mungkin bertindak untuk menghapuskannya, yaitu dengan cara bertaubat, menyesali dan beristighfar.
5.    Terkadang terlintas dalam pikiran seseorang bahwa kesenangan dan kenikmatan hanya dirasakannya ketika berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, bila dia meninggalkan hal tersebut dan melepaskan diri dari pikiran semacam itu demi mendapatkan ridla Rabb-nya, menginginkan pahalaNya serta takut akan siksaNya, niscaya dia akan diganjar pahala atas usahanya tersebut.
6.    Pelajaran lain yang dapat diambil dari hadits diatas adalah bahwa seorang hamba tidak diganjar pahala ataupun siksa bila yang dilakukan adalah berupa perbuatan-perbuatan yang asalnya dibolehkan, kecuali bila terkait dengan niat yang shalih atau rusak. Dalam kondisi seperti ini, perbuatan yang dibolehkan tersebut bisa berubah menjadi perbuatan shalih yang diganjar pahala atau perbuatan rusak yang diganjar siksa.
7.    Manakala Allah Ta’ala menjadikan keinginan untuk berbuat amal shalih dari seseorang lantas dicatatkan baginya satu pahala kebaikan meskipun tidak jadi dilakukan, adalah termasuk anugerah dan kemurahan dari Allah Ta’ala. Demikian pula, manakala Dia Ta’ala mengganjar pahala bagi seorang Muslim yang ingin melakukan suatu perbuatan baik, lantas dia tidak dapat melakukannya seperti orang yang berniat melakukan shalat malam tetapi tertidur, sakit atau mendadak harus bepergian dan sebagainya; maka, Dia Ta’ala tetap mencatatkan pahala bagi apa yang dilakukannya atau diniatkan olehnya meskipun tidak jadi dilakukannya.
8.    Bahwa Allah Ta’ala melipatgandakan pahala kebaikan bagi orang yang melakukannya dan tidak menganggap sebagai keburukan bila hanya berupa belesitan di dalam hati namun tidak sampai melakukannya; ini semua adalah karunia dan kemurahan Allah Ta’ala. Namun tidak sebatas itu saja karunia dan kemurahanNya tetapi lebih dari itu, Dia Ta’ala juga bahkan akan menghapuskan semua keburukan tersebut bila seorang Muslim melakukan perbuatan baik setelah itu. Berkaitan dengan hal ini, Allah Ta’ala berfirman: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS. 11/Hûd: 114).
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda kepada Abu Dzarr radhiallaahu 'anhu : “Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah (timpalilah) keburukan itu dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskannya (keburukan tersebut) serta pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”.


Siksaan Dunia Akhirat (Bagi Pemutus Silaturrahim dan Penzhalim)

Siksaan Dunia Akhirat
(Bagi Pemutus Silaturrahim dan Penzhalim)

Mukaddimah
Ada dua hal yang seringkali terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat dan tidak banyak diketahui oleh orang padahal keduanya memiliki implikasi yang tidak ringan terhadap si pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat.
Hal pertama dilarang oleh agama karena asy-Syâri', Allah Ta'ala sendiri telah mengharamkannya atas diriNya. Ia adalah kezhaliman yang sangat dibenci dan tidak disukai oleh sang Khaliq bahkan oleh manusia sendiri karena bertentangan dengan fithrah mereka yang cenderung untuk dapat hidup di lingkungannya secara berdampingan, rukun dan damai. Fithrah yang cenderung kepada perbuatan baik dan saling menolong serta mencela perbuatan jahat dan tindakan yang merugikan orang lain.
Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, manusia tak luput dari rasa saling membutuhkan satu sama lainnya sehingga terjadilah komunikasi dan hubungan langsung satu sama lainnya. Hal tersebut membuahkan rasa saling percaya dan ikatan yang lebih dekat lagi. Maka dalam tataran seperti inilah kemudian terjadi keterkaitan dan keterikatan dalam berbagai hal. Mereka, misalnya, saling meminjamkan barang atau harta, menggadaikan, berjual-beli dan lain sebagainya.
Manakala hal tersebut berlanjut sementara manusia memiliki sifat yang berbeda-beda serta memiliki kecenderungan untuk serakah -kecuali orang yang dirahmati olehNya- sebagaimana yang disinyalir oleh sebuah hadits shahih bahwa bila manusia itu diberikan sebuah lembah berisi emas, maka pasti dia akan meminta dua buah, dan seterusnya; maka tidak akan ada yang menghentikannya dari hal itu selain terbujur di tanah alias mati. Manakala hal itu terjadi, maka terjadilah pula tindakan yang merugikan orang lain alias perbuatan zhalim tersebut. Tak heran misalnya, terdengar berita bahwa si majikan menzhalimi pembantunya, sang pemilik perusahaan menzhalimi buruhnya, orang tua tega menzhalimi anaknya sendiri, suami menzhalimi isterinya, tetangga menzhalimi tetangganya yang lain dan sebagainya.
Perbuatan semacam ini kemudian dapat membuahkan hal kedua, yaitu pemutusan rahim alias hubungan kekeluargaan baik antara sesama tetangga, sesama komunitas masyarakat bahkan sesama hubungan darah daging sendiri padahal agama melarang hal itu dan memerintahkan agar menyambung dan memperkokohnya.
Oleh karena besarnya implikasi dan dampak dari kedua hal tersebut, maka agama tak tanggung-tanggung menggandengkan keduanya ke dalam satu paket yang para pelakunya nanti akan dikenakan siksaan yang pedih.
Bila dilihat dari sisi jenis siksaannya, hal pertama memang lebih besar siksaannya ketimbang hal kedua, karena disamping ia telah diharamkan oleh sang Khaliq sendiri terhadap diriNya, juga taubat dari hal tersebut tidak sempurna kecuali bila telah diselesaikan pula oleh si pelakunya terhadap orang yang terkaitnya dengannya. Artinya, dalam batasan dosa terhadap Allah taubat tersebut diterima bila memang taubat yang nashuh, namun bila masih terkait dengan bani Adam, maka harus diselesaikan dahulu.
Sedangkan hal yang kedua, bisa terhindari dari siksaan yang terkait dengannya bila disambung kembali bahkan dampaknya amat positif bagi pelakunya.
Namun begitu, keduanya adalah sama-sama menjerumuskan pelakunya ke dalam siksaan yang pedih, karenanya tidak ada artinya pembedaan dari sisi jenis siksaannya atau sisi lainnya bila hal yang dirasakan adalah sama, yakni "pedihnya siksaan"-Nya.
Mengingat betapa urgennya kedua permasalahan ini, maka dalam kajian hadits kali ini (naskah aslinya adalah berbahasa Arab) kami mengangkatnya dengan harapan dapat menggugah kita semua agar kembali kepada jalan yang benar dan menyadari kesalahan yang telah diperbuat, bak kata pepatah "selagi hayat masih dikandung badan".
Seperti biasa, kajian ini tak luput dari kekhilafan dan kekeliruan manusiawi, karenanya bila ada yang mendapatkannya -dan itu pasti ada- maka kami sangat mengharapkan masukannya, khususnya masukan yang membangun dan positif guna perbaikan di kemudian hari. Wamâ taufîqi illâ billâh. Wallaahu a'lam. 

Naskah Hadits
Dari Abu Bakrah -radhiallaahu 'anhu-, dia berkata:Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:" Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan oleh Allah siksaannya terhadap pelakunya di dunia beserta siksaan yang disimpan (dikemudiankan/ditangguhkan) olehNya untuknya di akhirat daripada kezhaliman dan memutuskan rahim (hubungan kekeluargaan)' ". (H.R. at-Turmuziy, dia berkata:"hadits hasan"). 

Sekilas tentang Periwayat hadits
Beliau adalah Abu Bakrah, seorang shahabat yang agung, Namanya Nufai' bin al-Hârits, maula Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam.. Ketika terjadi pengepungan terhadap Thâif, dia mendekati suatu tempat bernama Bakrah, lalu melarikan diri dan meminta perlindungan kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam . Dia pun kemudian masuk Islam di tangan beliau. Dia juga memberitahukan bahwa kondisinya sebagai seorang budak, lalu beliau memerdekakannya. Dia meriwayatkan sejumlah hadits dan termasuk Faqîh para shahabat. Dia wafat di kota Bashrah pada masa kekhilafahan Mu'awiyah bin Abu Sufyan. 


Faedah-Faedah dan Hukum-Hukum Terkait
1.   Substansi kezhaliman dan dalil-dalil yang mencelanya
Kezhaliman adalah kegelapan di dunia dan akhirat. Pelakunya pantas mendapatkan siksaan yang disegerakan baginya di dunia dan dia akan melihatnya sebelum meninggal dunia. Karenanya, banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits yang memperingatkan agar menjauhinya. Allah Ta'ala berfirman: "…Orang-orang yang zhalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa'at yang diterima syafa'atnya". (QS. 40/al-Mu'min:18). Allah juga berfirman:" Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim..". (QS. 14/Ibrâhim: 42). Dalam firmanNya yang lain: "Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang zalim itu menggigit dua tangannya, seraya berkata:'Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan (yang lurus) bersama Rasul' ". (QS.25/al-Furqân:27).

Asy-Syaikhân meriwayatkan dari Abu Musa radhiallaahu 'anhu bahwasanya dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah menunda/mengulur-ulur terhadap orang yang zhalim (memberikannya kesempatan-red) sehingga bila Dia menyiksanya maka dia (orang yang zhalim tersebut) tidak dapat menghindarinya (lagi) ". Kemudian beliau membacakan ayat (firmanNya): "Dan begitulah azab Rabbmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras". (QS. 11/Hûd: 102).
2.   Macam-Macamnya
Kezhaliman itu ada beberapa macam dan yang paling besar adalah syirik kepada Allah Ta'ala sebagaimana firmanNya -ketika menyinggung wasiat-wasiat Luqman kepada anaknya- : "…Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS.31/Luqmân: 13).

Diantara kezhaliman yang lain adalah:
o    Kezhaliman terhadap keluarga dan anak-anak; yaitu tidak mendidik mereka dengan pendidikan islam yang benar.
o    Kezhaliman terhadap manusia secara umum; yaitu berbuat hal yang melampaui batas dan menyakiti mereka, mengurangi hak-hak serta melecehkan kehormatan mereka.
o    Kezhaliman yang berupa kelalaian dalam melaksanakan hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, seperti tidak bekerja secara optimal sesuai dengan tuntutan pekerjaan atau selalu mengundur-undur kepentingan orang banyak, dan lain-lain.
o    Kezhaliman yang terkait dengan para pekerja dan buruh; yaitu dengan mengurangi hak-hak mereka serta membebani mereka dengan sesuatu yang tak mampu mereka lakukan.
3.   Tentang Silaturrahim dan dalilnya
Rahim merupakan masalah yang besar dalam dienullah karenanya wajib menyambungnya dan diharamkan memutuskannya.
Diantara indikasinya adalah sabda Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam : "Sesungguhnya Allah Ta'ala (manakala) menciptakan makhlukNya hingga Dia selesai darinya, maka tegaklah rahim sembari berkata:'inilah saat meminta perlindunganMu dari pemutusan'. Dia Ta'ala berfirman: "Ya, apakah engkau rela agar Aku sambungkan dengan orang yang menyambungnya denganmu dan Aku putus orang yang memutuskannya darimu?". Ia (R ahim) berkata:'tentu saja, (wahai Rabb-ku-red)!'. Dia Ta'ala berfirman: "hal itu adalah untukmu". Kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: "maka bacalah, jika kalian mau (firmanNya) : "Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan rahim (hubungan kekeluargaan) [22]. Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka [23]". (QS.47/Muhammad: 22-23).
4.   Bentuk-Bentuk silaturrahim
Silaturrahim dapat berupa :
o    Kunjungan, bertanya tentang kondisi masing-masing, memberikan spirit kepada kerabat dekat serta lemah-lembut dalam bertutur kata.
o    Memberikan hadiah yang pantas, saling mengucapkan selamat bila mendapatkan kebaikan, membantu orang yang berutang dan kesulitan dalam membayarnya, menawarkan diri untuk hal-hal yang positif, memenuhi hajat orang, mendoakan agar diberikan taufiq dan maghfirahNya, dan lain sebagainya.
5.   Faedah silaturrahim dan implementasinya
Silaturrahim dapat memanjangkan umur, memberikan keberkahan padanya, menambah harta dan mengembangkannya, disamping ia sebagai penebus keburukan-keburukan dan pelipat-ganda kebaikan-kebaikan. Hal ini dapat diimplementasikan dengan berupaya mendapatkan keridhaan dari Sang Pencipta, Allah Ta'ala.

Imam al-Bukhâriy meriwayatkans dari Anas radhiallaahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:"Barangsiapa yang ingin agar dibentangkan baginya dalam rizkinya dan ditangguhkan dalam usianya (panjang usia), maka hendaklah ia menyambung rahimnya (silaturrahim)".
6.   Bentuk siksaan bagi pemutus silaturrahim
Siksaan-siksaan yang Allah timpakan kepada sebagian hambaNya terkadang berlaku di dunia, terkadang juga ditangguhkan dan berlaku di akhirat; oleh karena itu hendaklah seorang muslim berhati-hati terhadap dirinya dan tidak menghina dosa dan maksiat sekecil apapun adanya manakala tidak melihat siksaannya di dunia.
7.   Renungan
Muslim yang sebenarnya adalah orang yang mencintai orang lain sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Jadi, dia senantiasa melaksanakan hak-hak mereka, tidak menyakiti atau menzhalimi serta tidak semena-mena terhadap mereka baik secara fisik maupun maknawi


Sihir Termasuk Perbuatan Syetan

Sihir Termasuk Perbuatan Syetan
Allah berfirman :
Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). (QS. 2:101)
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Merek mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaiu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:"Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan ijin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS. 2:102)
Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertaqwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui. (QS. 2:103)
Ketika Muhamad shallallahu 'alaihi wasallam datang dan membenarkan kitab Taurat yang ada pada orang-orang Yahudi, mereka mendustakannya. Mereka membuang Al-Qur'an dan Taurat di belakang punggung mereka, dan mereka sama sekali tidak mengamalkan kedua kitab itu. Orang-orang Yahudi mengikuti apa yang dikatakan oleh setan-setan dan setan-setan itu mengatakan bahwa sihir berasal dari Sulaiman 'alaihissalam, padahal kenyataannya setan-setan itulah yang mengeluarkan sihir. Mereka beranggapan bahwa Nabi sulaiman 'alaihissallam menggunakan ilmu sihir. Dan -masih menurut anggapannya- dengan ilmu sihir itu pula Nabi Sulaiman 'alaihissalam membangun kerajaan yang agung. Maka Allah membuat pernyaataan bahwa mereka berdusta dan sesungguhnya Sulaiman 'alaihissalam berlepas diri dari sihir yang di dalamnya terdapat kekufuran dan madharat.
Sihir dan kekufuran melekat pada setan-setan yang mengajarkan sihir itu kepada orang-orang Yahudi, dan sihir itu tidaklah diturunkan oleh Allah kepada kedua malaikat-Nya,  Harut dan Marut.
Al-Alusi dalam menafsirkan kalimat" dan apa yang diturunkan kepada kedua malaikat " pada ayat di atas, mengatakan : " Kalimat ini disambungkan oleh huruf " wa" dengan kata sebelumnya yaitu sihir. Faidah kata sambung " wa" di sini adalah untuk menyatakan bahwa mereka mengetahui mana yang sihir dan mana yang diturunkan sebagai batu ujian.
Mencela mereka karena melanggar larangan ini memberikan dua macam pengertian : pertama, seolah-olah dikatakan kepada mereka : " Ikutilalh sihir yang bisa dipelajari lewat buku-buku yang dikarang dan juga lewat lain-lainnya. Kedua, bahwa malaikat ini juga diturunkan untuk mengajarkan sihir sebagai ujian dari Allah untuk manusia. Karena itu barangsiapa yang mempelajarinya kemudian mempraktekkannya maka ia kufur. Barang siapa mengetahuinya ( ilmu sihir ) tetapi ia dapat menahan diri dari mempraktekkkannya, maka ia tetap berada dalam iman. Semuanya diserahkan pada Allah. Dia hendak menguji hamba-hamba-Nya sebagaimana ia pernah menguji kaum Luth dengan peristiwa sungai., peristiwa ini untuk membedakan antara sihir dengan mu'jizat, oleh karena saat itu banyak dilakukan praktek sihir. Tukang sihir sering mempertontonkan hal-hal yang aneh. Akibatnya, terjadi keragu-raguan dalam diri umat terhadap kenabian Nabi Luth shallallahu 'alaihi wasallam. Maka Allah mengutus dua malaikat untuk mengajarkan ilmu-ilmu sihir sehingga bisa dibedakan antara mu'jizat dan sihir. ( dari buku ruhul ma'ani, Al-Alusi : I/30. )
Jika ada orang yang menyanggah pendatap saya dengan mengatakan-misalnya- : bagaimana mungkin malaikat Allah dibolehkan mengajarkan manusia sesuatu yang bisa menceraikan seorang suami dengan pasangannya ?. maka jawaban saya sebagai berikut : Sesungguhnya Allah telah memberikatahukan kepada hamba-Nya mengenai segala hal yang Ia perintahkan dan segala hal yang Ia larang. Sihir termasuk suatu pekerjaan yang terlarang bagi para hamba-Nya. Karena itu bukan hal yang ganjil jika Allah mengajarkan pada dua malaikat- Harut dan Marut- ilmu sihir, dan mereka mengajarkannya kembali kepada manusia. Hal itu dimaksudkan sebagai ujian bagi hamba-hamba-Nya, agar bisa diketahui siapa orang yang beriman dan siapa yang kufur. Orang yang beriman adalah orang yang tidak belajar sihir dari kedua malaikat itu, sedangakan orang yang kfur adalah orang yang mempelajari sihir dan mempraktekkannya, untuk itu mereka mendapat penghinaan dan celaan dari Allah Subhanahu wa Ta'aala.( Tafsir Ath-Tabari, II/426 ).
Perlu saya tegaskan bahwa penafsiran At-Thabari inilah yang mu'tamad ( dapat dijadikan pegangan ) dan inilah makna zhahir yang dimaksud dalam al-Qur'an. 

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari ayat di atas :
1.   Berpaling dari kitab dan sunnah akan mengakibatkan adanya kejahatan, kerusakan, kezaliman dan sihir.
2.   Tukang sihir adalah kafir. Haram mempelajari sihir dan haram pula mempraktekkannya.
3.   Sihir itu mempunyai berbagai madharat ( bahaya ). Sihir bisa ditolak dengan membaca mu'awwidzatain ( surat Al-Falaq dan surat An-Nas ) dan berdo'a kepada Allah.
4.   Diharamkan membenarkan dukun, tukang sihir dan tukan ramal. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
Barang siapa mendatangi dukun dan tukang ramal, lalu membenarakannya, maka ia benar-benar telah kafir terhadapa apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ( Al-Qur'an ). Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Ahmad ).
Dalam hadits lain : Barang siapa mendatangi tukang ramal, lalu ia menanyakan sesuatu kepadanya, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari. HR. Muslim.
Dukun dan tukang ramal. Keduanya mengaku memiliki ilmu ghaib yang sebenarnya pengakuan itu dusta belaka, karena tidak ada yang mengetahui ghaib kecuali Allah.
5.   Pintu taubat selalu terbuak bagi siapapun termasuk tukang sihir dan lainnya mekipun sebulumnya ia kafir.
6.   Cobaan dari Allah untuk hamba-hambanya berbentuk kebaikan dan keburukan agar bisa diketahui siapa yang bermaksiat dan siapa yang taat. Allah berfirman :
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan(yang ssebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS. 21:35) 

 ( dari buku : kaifa nafhamu al-Qur'an Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, edisi Indonesia hal : 209 )


Blog Archive