Wednesday, January 26, 2011

Sejarah Perkembangan Printer (Tekhnologi Percetakan)


Kenyataan ini mengisyaratkan kepada kita kalau sebuah penemuan yang tetap mahal, seperti yang terjadi pada penemuan telegraf elektronik, akan memiliki dampak yang sangat berkurang terhadap perekonomian maupun pada tingkatan penggunaan secara individual. Dewasa ini, berbagai bentuk pengurangan komunikasi, baik itu secara tertulis, oral, maupun visual, yang secara cepat berubah menjadi sebuah rangkaian bilangan angka 1 (baca satu) dan 0 (baca nol), memiliki kekuatan untuk mendorong sebuah dunia yang penuh dengan pengetahuan (knowledge) yang sama radikalnya, setidaknya, dengan apa yang dilakukan oleh Gutenberg ketika menemukan teknik percetakan bergerak.

Namun demikian, berbeda dengan teknologi Gutenberg yang secara perlahan mulai terlihat meredup, revolusi teknologi komunikasi informasi yang sekarang ini mewabah di seluruh dunia, menghasilkan sebuah dunia baru yang instan dan berpotensi tidak terkontrol dalam komunikasi satu-per satu individu. Persoalan ini pun akhirnya menimbulkan berbagai pertanyaan yang langsung ke akar berbagai pemikiran, para orang pintar dan bijak di berbagai negeri mulai mempertanyakan siapa yang memiliki informasi?

Masyarakat spasial mulai tergantikan dan berada pada posisi relokasi oleh munculnya sebuah masyarakat semu (virtual). Sebuah tata ekonomi internasional baru mulai menata diri di sekitar apa yang disebut sebagai cyberspace dan menantang secara langsung otonomi negara-bangsa. Kalau kita kembali dan melihat ke belakang sejarah dunia, misalnya, dampak teknologi komunikasi terhadap pelaksanaan pengembangan kekuasaan sejak penemuan teknologi pencetakan, secara konsisten menunjukkan adanya tantangan langsung terhadap para pemimpin di negara-negara Barat untuk mengubah kebiasaan mereka. Sama halnya seperti ketika berbagai teknologi ditemukan, selalu menghasilkan perubahan dalam stratgei dan taktik peperangan.

Referensi yang paling cocok kembali lagi pada penemuan teknologi pencetakan oleh Johann Gutenberg pada abad ke-15. Percetakan secara mekanikal ketika itu, "dikutuk" sebagai "pengacau" terhadap kekuasaan dan para penguasa alami ketika itu. Ditemukannya teknologi percetakan, jelas telah membantu Martin Luther untuk langsung menantang kekuasaan Gereja Katolik, dan tentunya juga kegagalan kepemimpinan Paus Leo X. Memang betul, pekerjaan Luther akan menjadi lebih sulit walaupun ada percetakan sekali pun, kalau seandainya bukan karena tindakan seorang paus serakah yang menjual kemewahan dan menjarah harta Vatikan.

Nirkertas

Dalam konteks dan kecenderungan seperti yang diuraikan, kita mencoba memahami bagaimana perkembangan teknologi percetakan yang sekarang ini sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan revolusioner jaringan Internet dan digitalisasi di bidang informasi dan komunikasi dengan munculnya berbagai jenis printer di pasaran.

Kalau mengikuti logika perkembangan dan pertumbuhan ekonomi baru dengan teknologi komunikasi informasi sebagai penggerak utamanya, kita pun akan mengira kalau sebuah dunia nirkertas (paperless) akan menjadi sebuah kenyataan di tengah gegap gempitanya digitalisasi. Tetapi, dan ini yang aneh, ini tidak terjadi. Tidak ada apa yang namanya dunia nirkertas, dan bahkan kecenderungan yang muncul adalah digitalisasi menghasilkan lebih banyak kertas dan lebih banyak tinta.

Ketika Kompas berada di kantor Hewlett Packard Indonesia di kompleks pertokoan Plaza Senayan beberapa saat lalu dan melihat sebuah printer Deskjet 1220C (Kompas sendiri tidak memiliki kesempatan untuk mencoba produk ini karena terjadi product defect ketika pertama kali mengeluarkannya dari boks Deskjet 1220C) yang bisa dicetak di atas kertas ukuran A3 (ukuran 29,7 cm x 42 cm) dan menanyakan apa kegunaannya jenis printer seperti ini, salah satu salesman Hewlett Packard dengan seenaknya memberikan jawaban, "Untuk proofing warna dan color matching."

Menurut Kompas ini adalah jawaban yang aneh. Ketika diteruskan dengan pernyataan adanya jaringan Internet dan komputerisasi di berbagai perusahaan (di biro iklan maupun percetakan, misalnya), sehingga sebenarnya tingkatan pekerjaan untuk menyesuaikan warna dan mata rantai cetak mencetak bisa selesai dengan digitalisasi, sang salesman Hewlett Packard ini pun masih dengan seenaknya memberikan jawaban bahwa komposisi warna pada perangkat komputer PC ada yang RGB dan CMYK, sehingga diperlukan printer agar tidak terjadi perbedaan warna yang diinginkan, misalnya, kalau biro iklan ingin memasukkan iklan berwarna di Harian Kompas.

Jawaban sang salesman Hewlett Packard ini menjadi sulit untuk diterima akal kalau kita mengikuti paradigma digitalisasi dan perkembangan pesat jaringan Internet. Paradigma ini mengisyaratkan bahwa adanya dimensi ruang dan waktu yang bisa dipangkas dan menyederhanakan pekerjaan secara menyeluruh, sekaligus dari sisi ekonomi terciptanya penghematan. Mengenai komposisi warna pada komputer PC antara RGB dan CMYK yang berbeda-beda, jelas terjadi karena memang yang tidak dipikirkan penjaja printer Hewlett Packard tadi adalah persoalan kalibrasi monitor komputer PC pada masing-masing client harus dilakukan.

Dengan kalibrasi ini, maka warna biru 88 persen, merah 91 persen, maupun hijau 66 persen yang diinginkan oleh biro iklan ketika akan memasang iklan di media cetak yang dikirim melalui file digital dengan memanfaatkan jaringan Internet atau jaringan kerja metropolitan berkecepatan tinggi, akan diterima sesuai dengan permintaan pemesan pemasangan iklan di bagian percetakan media tersebut. Ini adalah esensi paling penting dari dunia digitalisasi dan inter-koneksi yang sekarang terus berkembang. Melalui kalibrasi, warna-warna tersebut akan tetap dibaca dan diterima sebagai biru 88 persen, merah 91 persen, dan hijau 66 persen, dan tidak mungkin berubah-ubah tidak menentu.

Persaingan harga

Namun demikian, terlepas dari persoalan kalibrasi atau tidak, tulisan ini sendiri mencoba untuk melihat dan memahami ke mana sebenarnya kecenderungan dan arah yang ingin ditempuh printer-printer yang tersebar luas di pasaran sekarang ini. Untuk jenis printer laser mungkin perkembangan yang ada sekarang ini lebih mengarah pada persaingan harga, ketimbang teknologi yang bisa dikembangkan lebih jauh di luar kualitas cetakan dan kecepatan mencetak.

Ambil saja beberapa printer laser buatan Canon, Epson, dan Hewlett Packard yang semuanya dijual dengan harga yang berkisar antara 275 dollar AS sampai 365 dollar AS. Secara teknologi, printer laser LBP-1000 buatan Canon, EPL-5800L buatan Epson, maupun LaserJet 1000 buatan Hewlett Packard semuanya memiliki teknologi yang sepadan dengan kecepatan mencetak rata-rata di bawah 30 detik dengan resolusi teks antara 300-1200 dpi (dot per inch). Pada kasus Canon LBP-1000 memang terjadi pencetakan dengan waktu yang lebih lama karena koneksi yang disediakan antara komputer PC dilakukan melalui sambungan paralel.

Ketika menguji kecepatan mencetak 21 halaman tulisan ini menggunakan komputer PC pada prosesor Pentium 4 2,2GHz, Canon LBP-1000 memerlukan waktu yang lebih lama pada kualitas 1.200 dpi, yaitu 02:34:989. Sedangkan pada kualitas 600 dpi, waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan dokumen yang sama lebih cepat yaitu 02:15:780. Sedangkan pada printer Epson EPL-5800L, dokumen 21 halaman dicetak pada dua jenis kualitas yang berbeda (600 dpi dan 300 dpi) masing-masing menyesaikannya dengan selisih yang tidak begitu jauh, secara berturut-turut 02:21:156 dan 02:20:123. Dan pada printer LaserJet 1000 buatan HP pada kualitas pencetakan 600 dpi dibutuhkan waktu 02:10:426.

Memang pada pencetakan teks, kecepatan 10 ppm (page per minute) merupakan hasil maksimum yang bisa dicapai printer laser yang ditujukan untuk konsumen tingkat low-end maupun bagi perusahaan skala kecil dan menengah. Dan akhirnya, harga memang akan sangat menentukan (pada ketiga kelas ini, printer Epson EPL-5800L dijual di pasaran sekitar 275 dollar AS, sedangkan printer sejenis buatan Canon dan Hewlett Packard dijual dengan harga di atas 300 dollar AS).

Tidak berubah

Printer dengan teknologi laser tampaknya memang akan terhenti sejenak karena di luar kecepatan dan kualitas dpi, para produsennya mungkin tidak berminat untuk mengembangkan lebih jauh misalnya untuk memperbaiki kualitas cetakan setara dengan teknologi ink-jet yang sekarang menjadi sebuah kecenderungan pesat dengan semakin terintegrasinya multimedia dalam berbagai bentuk. Jadi, pada akhirnya yang terjadi adalah persaingan pada perusahaan printer laser mana yang bisa menghemat biaya berbagai komponennya untuk menyediakan printer jenis ini ke konsumen.

Cetak mencetak memang belum menjelang ajal dan menjadi industri "sunset" dibanding misalnya industri lain seperti fotografi atau film seluloid yang biasa digunakan pada kamera 35 mm. Bagaimanapun juga, berbagai dokumen yang berkaitan dengan masalah hukum, seperti kontrak, perjanjian kerja, dan sejenisnya, masih tetap akan menjadi pegangan semua pihak dalam menjalankan usahanya yang terkait dengan pihak-pihak lain.

Alasan lainnya, memegang kertas untuk masih tetap lebih nyaman dibanding membaca dari layar monitor. Pada alasan ini terkiat persoalan portabilitas, kenyamanan, dan kebiasaan yang memang sulit untuk dicarikan penggantinya. Mungkin perlu juga dilakukan skala penggunaan dan kebiasaan, apakah di antara 10 orang yang memiliki PDA (Personal Digital Assistant) yang sekarang merupakan fenomena penting dalam perjalanan digitalisasi dan multimedia, ada di atas lima orang yang membaca di atas PDA-nya.

Sekarang ini menjadi sulit untuk melihat kecenderungan cetak-mencetak di masa yang akan datang, dan orang pun akan merasa puas dan cukup membaca dokumen tercetak dengan kualitas 600 dpi. Jadi pada teknologi pencetakan jenis teks nantinya masih tidak akan berubah banyak dibanding dengan yang ada sekarang di pasaran. Semakin banyak printer laser yang ditawarkan di pasaran, semakin banyak kertas yang dibutuhkan untuk mencetak berbagai keperluan yang tidak pernah akan selesai. (rene l pattiradjawane)

Blog Archive